Daerah

PA Bontang Perkuat Perlindungan Hak Anak dan Perempuan Pasca-Percerian memberi Langkah Progresif

30
×

PA Bontang Perkuat Perlindungan Hak Anak dan Perempuan Pasca-Percerian memberi Langkah Progresif

Sebarkan artikel ini

Bontang, PotretRepublik.com – Di tengah meningkatnya angka perceraian, Pengadilan Agama (PA) Bontang mengambil langkah progresif untuk memastikan hak anak dan perempuan pasca-perceraian benar-benar terlindungi. Komitmen ini ditegaskan langsung oleh Ketua PA Bontang, Nor Hasanuddin, Lc., M.A., dalam presentasi di hadapan jajaran PT Kaltim Industrial Estate (KIE), Senin (6/10/2025).

“Perceraian memang memutus hubungan suami istri, tapi tidak boleh memutus hak anak dan perempuan. Itu prinsip yang kami pegang di PA Bontang,” tegas Hasanuddin. Ia menambahkan, perlindungan hak ini bukan sekadar formalitas hukum, tetapi kebutuhan nyata demi keberlangsungan hidup keluarga dan masa depan anak-anak Indonesia.

Langkah PA Bontang berlandaskan sejumlah regulasi kuat seperti UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (jo. UU No.16 Tahun 2019), Perma No.3 Tahun 2017, SEMA No.1/2017 dan No.2/2019, serta Surat Edaran Dirjen Badilag Tahun 2021. Semua aturan ini menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan berpihak pada pihak rentan, terutama perempuan dan anak.

Hasanuddin menegaskan, hakim tidak hanya bertugas menegakkan hukum, tetapi juga berperan sebagai pelindung moral bagi keluarga yang terdampak perceraian. “Empat hak utama yang wajib dipenuhi mantan suami adalah nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak. Kami pastikan semua hak itu terakomodasi dalam putusan,” jelasnya.

Data PA Bontang menunjukkan peningkatan signifikan dalam penerapan pembebanan nafkah. Tahun 2022, hanya 16 persen putusan yang mencantumkan pembebanan nafkah. Namun, pada 2025 meningkat menjadi 43 persen, atau 134 dari 309 perkara perceraian. “Ini bukti meningkatnya kesadaran hukum masyarakat sekaligus konsistensi hakim dalam menjamin hak perempuan dan anak,” tegasnya.

Dalam praktiknya, PA Bontang menggunakan tiga jalur utama untuk memastikan pemenuhan hak tersebut, yakni kumulasi gugatan, mediasi, dan rekonvensi. Jalur kumulasi dinilai paling efektif karena semua tuntutan disidangkan bersamaan dengan gugatan perceraian.

Selain itu, PA Bontang menerapkan sistem ketat dalam pelaksanaan putusan. Dalam cerai talak, suami tidak dapat mengucapkan ikrar sebelum melunasi kewajiban nafkah. Sedangkan pada cerai gugat, akta cerai tidak akan diterbitkan sebelum seluruh kewajiban diselesaikan.

Meski demikian, Hasanuddin mengakui masih ada tantangan besar, terutama pada eksekusi nafkah anak. Hingga kini, belum ada aturan Mahkamah Agung yang mempercepat proses tersebut. Akibatnya, pengadilan harus menggunakan mekanisme lelang sesuai Pasal 215 RBg, yang kerap memakan waktu dan biaya tinggi.

“Banyak ibu harus menunggu lama untuk memperoleh hak anaknya. Ini tentu kontraproduktif terhadap upaya negara melindungi generasi muda,” ujarnya.

Untuk mengatasi hal itu, PA Bontang menjalin kerja sama strategis dengan PT Kaltim Industrial Estate (KIE). Melalui kerja sama ini, bila pihak tergugat merupakan karyawan PT KIE, maka pembayaran nafkah dilakukan otomatis melalui pemotongan gaji oleh bendahara perusahaan.

Prosesnya terstruktur: setelah putusan berkekuatan hukum tetap, salinan dikirim ke perusahaan dan bendahara akan memotong gaji sesuai amar putusan, lalu mentransfer dana langsung ke rekening penerima.

“Kerja sama ini tidak hanya menjamin kepastian hukum, tetapi juga mendukung program nasional pencegahan stunting. Anak-anak tetap berhak atas gizi dan pendidikan layak meski orang tuanya berpisah,” terang Hasanuddin.

Jika mantan suami bukan karyawan PT KIE, PA Bontang tetap memberikan tenggat enam bulan untuk pelunasan kewajiban dalam cerai talak, sementara dalam cerai gugat, akta cerai baru terbit setelah seluruh kewajiban terpenuhi.

Setiap amar putusan kini juga ditulis dengan angka nominal eksplisit untuk menghindari multitafsir. “Dengan amar yang tegas, pelaksanaan putusan menjadi lebih sederhana,” ujarnya.

Sebagai bagian dari reformasi birokrasi, PA Bontang tengah membangun Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Hasanuddin mengajak masyarakat berpartisipasi aktif melapor melalui Sistem Pengawasan (SIWAS) Mahkamah Agung jika menemukan penyimpangan layanan.

“Integritas adalah kunci. Pengadilan harus menjadi rumah yang aman bagi pencari keadilan,” tegasnya.

Langkah-langkah konkret PA Bontang ini menjadi bukti bahwa lembaga peradilan agama tidak hanya berperan dalam aspek hukum, tetapi juga sosial, dengan memperjuangkan kesejahteraan keluarga pasca-perceraian.

“Perlindungan anak dan perempuan bukan isu pinggiran, tetapi inti dari keadilan sosial. Kami ingin memastikan tidak ada anak yang kehilangan haknya hanya karena rumah tangganya berakhir,” pungkas Hasanuddin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *